Jika menyusun sejarah Indonesia secara umum saja sudah sedemikian susah,
apalagi membuat penelitian sejarah yang lebih spesifik lagi, yaitu mata
uang! Ibarat menyusun sebuah "puzzle", bagian ujung sudah terisi,
tetapi yang di tengah belum ada. Bagian atas sudah tersusun, tapi yang
bawah masih gelap. Perlu waktu bertahun-tahun untuk melengkapi agar
suatu tulisan sejarah mata uang ini dapat menjadi suatu kesatuan yang
berkesinambungan. Memang ada buku-buku yang ditulis pada jaman-jaman
tersebut, seperti misalnya buku Nagarakartagama, namun uraian tentang
mata uang hampir tidak pernah ada sama sekali. Untuk periode abad ke VII
ke atas, yaitu sejak kedatangan VOC di Nusantara, data lebih mudah
didapatkan karena lengkapnya catatan-catatan mereka dalam melaporkan
setiap perkembangan kepada dewan direksi (The Seventeen Gentlemen) di
negeri Belanda. Setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, maka
jadilah suatu rangkaian sejarah mata uang yang diberi judul: Sejarah
Perkembangan Mata Uang Indonesia.
Koin kepeng Cina telah digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia selama kurun waktu 900 tahun atau 9 abad! Bahkan di Bali, koin-koin Cina tersebut masih dipakai sebagai alat pembayaran sampai dengan jaman Republik tahun 1950! Dalam melakukan penulisan ini, saya yakin, bahwa tulisan ini pasti masih ada bagian yang bolong-bolong, namun kekurangan itu diharapkan tidak sampai mempengaruhi keutuhan dari rangkaian sejarah itu sendiri. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bukan saja bagi kita kalangan Numismatik, tetapi dapat berguna juga bagi negara dan bangsa Indonesia!
- Berdasarkan jamannya, perkembangan mata uang Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periode - Jaman Kerajaan Hindu Buddha (800/850 – 1.300 Masehi)
- Jaman Perdagangan- Perdagangan dengan Cina (850–1900)
- Perdagangan dengan VOC (1602-1799)
1. Pendudukan Perancis (1806–1811)
2. Pendudukan Inggris (1811–1816)
- Jaman Pendudukan Jepang (1942–1945)
- Jaman Pemerintahan Republik Indonesia (1945-sekarang)
1. Sukarno (1945–1967)
2. Suharto (1967–1998)
3. B.J Habibie (1998–1999)
4. Abdurrachman Wahid (1999–2001)
5. Megawati Sukarnoputri (2001-2004)
6. Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang)
- Mata uang lainnya 1. Kerajaan-Kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
2. Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh
3. Kerajaan Palembang
4. Kerajaan-Kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka)
5. Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton)
6. British East India Company di Sumatra
7. Token-token perkebunan dan pertambangan- Jaman Kerajaan Hindu Buddha (800/850–1.300 Masehi)Berdasarkan inskripsi-inskripsi jaman dulu, koin Indonesia yang dicetak pertama kali adalah sekitar tahun 800-850 Masehi, yaitu pada jaman kerajaan Mataram Syalendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan, yaitu dari perak dan emas. Dan berdasarkan Prasasti Bulai sekitar tahun 860 Masehi, standar untuk berat dan nilainya adalah:
- Masa (biasa disingkat Ma), mempunyai berat standar 2,4 gram
- Atak, adalah setengan dari Masa, atau mempunyai nilai dua Kupang (dua Ku). Berat standar satuan Atak adalah 1,2 gram.
- Kupang (disingkat Ku), mempunyai berat standar 0,60 gram, dan biasanya disebut seperempat Masa.
Koin-koin emas dan perak yang dicetak pada jaman dinasti Syailendra mempunyai bentuk sangat kecil. Koin emasnya berbentuk seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) Pada bagian depanya terdapat huruf Devanagari "Ta" (Singkatan dari "Tahil"). Di belakangnya terdapat incuse (lekukan kedalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik pola ini dinamakan "Sesame Seed" pattern. Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari "Ma" (Singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola bunga cendana.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Syailendra pada waktu itu semakin meluaskan wilayahnya, bahkan sampai ke daerah–daerah Jawa Timur. Adapun pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur, seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak berdatangan para pedagang dari mancanegara. Jawa Timur sebagai daerah maritim, akhirnya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa Tengah yang merupakan daerah agraris. Pada waktu itu (Jaman Dinasti Tang, tahun 618-907 Masehi), orang-orang Cina sudah mulai banyak berdatangan ke tanah Jawa untuk melakukan perdagangan. Mereka membawa mata uang sendiri yang disebut "Cash" atau "Caixa", Cassie, Pitje, atau orang Jawa menyebutnya Kepeng, dengan ciri khas terdapat lubang persegi di tengahnya. Koin-koin Cina ini lambat laun dapat diterima sebagai alat pembayaran yang sah.
Pada kira-kira tahun 928 Masehi, gunung Merapi meletus dahyat, yang mengakibatkan rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan di atas, serta makin majunya daerah Jawa Timur, maka pada tahun 929 diputuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Walaupun koin-koin tetap dicetak dengan berat seperti standar awal, tetapi lama kelamaan mengalami proses perubahan bentuk dan disainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk kecubung, dengan diameter antara 13-14 mm.
Pada Jaman Dinasti Sung di Cina (960-1279) merupakan puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang Cina yang datang ke Jawa untuk berdagang. Bersamaan dengan kedatangannya, dibawa juga koin-koin kepeng Cina untuk dipakai sebagai alat pembayaran. Saking banyaknya jumlah peredaran uang kepeng tersebut, yang akhirnya menyisihkan mata uang lokal yang terbuat dari perak dan emas Masa dan Tahil. Hal-hal yang mungkin dapat dijadikan alasan, karena uang kepeng mempunyai lubang ditengahnya, sehingga praktis untuk dibawa kemana-mana dan tidak mudah hilang. Biasanya uang itu direnteng dalam ikatan 1.000 buah per ikatnya. Alasan lainya bahwa koin perak dan emas lokal merupakan mata uang dalam pecahan besar. Masyarakat sangat membutuhkan uang-uang dalam nilai pecahan kecil, yang sangat diperlukan untuk perdagangan. Sebagai contoh, satu ekor kambing pada akhir abad ke IX, dapat dibeli dengan 4 perak Masa!
Sebenarnya koin-koin perak dan emas yang sudah mengalami perubahan bentuk itu merupakan produk dari kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, yaitu Daha dan Jenggala. Namun karena kerajaan Majapahit (1293-1528) pada waktu itu merupakan kerajaan besar di Asia Tenggara, maka biasanya kita menamainya sebagai koin-koin emas dan perak Majapahit. Padahal sejak akhir abad ke XIII, mata uang yang digunakan sebagai pembayaran adalah koin-koin kepeng dari Cina.
- Jaman Perdagangan
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa pada periode tersebut diklasifikasikan sebagai jaman-jaman perdagangan? Apakah pada waktu itu hanya orang-orang Cina dan Belanda (melalui perusahaan VOC) saja yang berdagang di Indonesia? Nama Jawa sejak jaman dulu mempunyai daya tarik tersendiri bagi semua orang asing, entah itu Portugis, Inggris, Belanda, Spanyol, India ataupun Cina. Jika orang Itali pada jaman dulu banyak yanag melakukan eksodus ke tanah emas Amerika, maka orang-orang Cina pada waktu itu melihat "Nan-Yang" atau Negara-negara Asia Tenggara, terutama Pulau Jawa sebagai Tanah Harapan.
Sebenarnya bukan hanya orang-orang Cina dan VOC (Belanda) saja yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang paling dominan dalam melakukan perdagangan di Jawa. Dan dari mata uang Cash Cina dan mata uang "Kompeni" inilah yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi sejarah dan perkembangan numismatik Indonesia.
- Perdagangan Dengan Cina
Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira pada jaman dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi). Namun jauh sebelum itu, nama Jawa sudah ada dalam catatan sejarah di Cina. Dengan Jung-jungnya (kapal Cina), mereka mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, seperti di Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal dengan produksi ladanya, disamping kulit penyu, cula badak, gading, emas dan perak. Dalam melakukan perdagangannya, orang-orang Cina memperkenalkan dan menggunakan koin-koin Cina (Cash) sebagai alat tukar, yang akhirnya dapat diterima oleh penduduk sebagai alat pebayaran.
Puncaknya adalah pada masa pemerintahan Dinasti Sung di Cina (960-1279), dimana berjuta-juta keping koin Cina membanjiri Jawa, yang mengakibatkan koin lokal emas dan perak Masa akhirnya tidak digunakan lagi sebagai alat pembayaran, diganti fungsinya dengan koin-koin Cina itu.
Setelah terjadi penyerbuan oleh Dinasti Yuan / Mongol (1279–1368 Masehi) ke tanah Jawa pada tahun 1291 Masehi, yang akhirnya memunculkan kerajaan besar "Majapahit", maka terjadi stagnasi dalam hubungan perdagangan kedua negara tersebut. Tetapi stagnasi ini juga tidak berlangsung lama. Hubungan diplomatik mulai diperbaiki, dan akhirnya perdagangan mulai berjalan seperti semula.
Pada waktu bertahtanya kaisar Yong Le (1403-1425 Masehi) dari Dinasti Ming, raja memerintahkan Laksamana Cheng Ho untuk melakukan perjalanan muhibah ke banyak negara, yang salah satunya adalah tanah Jawa. Pada tahun 1405 Masehi, Cheng Ho untuk pertama kalinya mendarat di kota Tuban, Jawa Timur. Setelah itu mereka pergi ke Gresik, lalu ke Surabaya, dan akhirnya ke Majapahit, dimana raja bertempat tinggal.
Dalam misinya, Cheng Ho ditemani oleh seorang juru tulis dan juga sebagai penerjemah yang sama-sama pemeluk agama Islam, yang bernama Ma Huan. Berikut ini beberapa petikan dari buku "Ying Yai Sheng Lan" yang ditulis oleh Ma Huan (terbit tahun 1416), mengenai apa yang dilihatnya pada waktu itu:
"Koin-koin Cina dari berbagai dinasti, umum digunakan disini"......."Dalam melakukan transaksi, pembayarannya memakai koin-koin cash tembaga Cina dari berbagai dinasti"......."Orang-orang disini (Jawa Timur) sangat senang dengan porselin-porselin Cina dengan motif Hijau bunga, kain sutra, manik-manik,dll. Mereka membelinya dengan uang-uang cash"......
Pada tahun 1478, Majapahit diserang oleh kerajaan Islam Demak, yang berakhir dengan kemenangan Demak. Untuk selanjutnya Majapahit berstatus sebagai negara bawahan dari kerajaan Demak, hingga akhirnya pada kira-kira tahun 1528 kerajaan Majapahit dibumihanguskan oleh Demak. Dengan matinya Majapahit di bagian Timur, telah muncul kota dagang lainnya yang semakin hari semakin ramai di bagian barat, yaitu Bantam (Banten). Pada akhir dinasti Ming (1368-1644 Masehi), orang-orang Belanda melalui perusahaan VOC tahun 1602 mulai masuk ke Indonesia. Pada awalnya VOC membawa koin-koin perak Real (Real Baru dan Real Bundar) untuk transaksi perdagangan, yang ternyata mata uang yang dipakai sebagai alat perdagangan adalah uang Cina.
Pada jaman Ming pula pernah terjadi keguncangan moneter di Cina akibat dari kelangkaan uang yang beredar disana. Hal ini disebabkan karena banyaknya mata uang cash yang diekspor ke Jawa. Akhirnya pemerintah Ming melakukan larangan untuk mengeksport uang Chi’ien tersebut ke luar negeri, termasuk Jawa. Walaupun nantinya kran dibuka kembali, namun larangan tersebut telah mengakibatkan kekosongan mata uang dalam pecahan kecil. VOC akhirnya melakukan import uang-uang tembaga bolong dari negara-negara lain, seperti Jepang, Korea, dan Vietnam. Disamping itu mulai dibuat uang-uang Picis (Tiruan dari koin-koin Cina), yang terbuat dari timah (tin) atau dari timbal (lead). Koin-koin dari Jepang, Korea dan Vietnam diatas, serta uang-uang Picis tiruannya, sampai sekarangpun masih dapat ditemui di tanah Jawa.
Pada tahun 1723 Jepang yang kali ini menghentikan export uang Cash. Karena Jung-jung Cina yang biasa mempunyai suply belum datang, maka pada waktu itu terjadi kekosongan uang pecahan kecil. Oleh karena itu, VOC meminta kepada negeri Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang pertama kalinya dicetak pada tahun 1726. Naum koin-koin cash tetap beredar bersamaan dengan doit tembaga versi Belanda. Pada waktu berkuasanya dinasti Qing di Cina tahun 1644–1911, import koin cash tetap dilakukan oleh Belanda guna dipakai di Jawa dan Bali. Terutama di Bali, Belanda telah berkali-kali mencoba mencetak doit dengan tengahnya yang berlubang untuk menggantikan koin cash Cina yang biasa dipakai di Bali.
- Perdagangan Dengan VOC (1602–1799)
Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Coernelis dan Frederick de Houtman, dengan armadanya yang terdiri dari 4 kapal dengan 249 awak kapal dan 64 meriam. Mereka mendarat di pelabuhan Banten untuk membeli rempah-rempah yang pada waktu itu sangat menguntungkan di pasaran EropaSetelah beberapa lama di Banten, karena memang perangainya yang kasar, Cornelis terlibat keributan yang akhirnya ditahan oleh penguasa Banten, dari bulan September 1595 sampai Februari 1596. Namun akhirnya dia bisa kembali kenegerinya setelah dibayar uang tebusan untuk pembebasannya. Keberhasilan de Houtman ini akhirnya diikuti oleh perusahaan-perusahaan Belanda lainnya, dan mulailah masa perlombaan mencari rempah-rempah di Indonesia, terutama di Jawa dan Maluku
Perlombaan mencari rempah-rempah di Nusantara akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Harga rempah-rempah melonjak tajam, sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi semakin tipis. Akhirnya pada bulan Maret tahun 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Dalam melakukan perdagangannya, VOC diberi mandat penuh oleh pemegang saham untuk merekrut pasukannya sendiri, mengumumkan perang, mendirikan benteng-benteng, dan yang terutama sekali menghancurkan musuh-musuh dagangnya, seperti Portugis, Spanyol dan Inggris. VOC harus memberikan laporan-laporan kegiatanya kepada "ke 17 Tuan-tuan di negri Belanda" yang disebut "Heeren XVII" atau "The Seventeen Gentlement". Tuan-tuan ini adalah wakil dari 6 daerah di Belanda, yang merupakan pemegang saham dari perusahaan VOC.
Selama lebih dari seabad sejak tahun 1602 VOC melakukan monopoli perdagangan di kepulauan Indonesia, mereka tidak pernah mencetak koinnya sendiri untuk diedarkan di Hindia Belanda. Walaupun pernah dicetak koin-koin dengan lambang VOC pada tahun 1644 dan 1645, namun koin-koin tersebut adalah koin darurat (Emergency coin) guna menanggulangi langkanya koin-koin dalam pecahan kecil, dan bukan produk resmi dari VOC. Yang pertama adalah berbahan tembaga, dicetak kira-kira pada bulan Agustus tahun 1644, dengan pecahan ¼ dan ½ Stuiver. Koin-koin ini dicetak oleh seorang Cina yang tinggal di Batavia, yang bernama Conjok. Namun pada tanggal 21 September 1644, koin-koin tersebut ditarik karena The Seventeen melarang koin-koin tersebut digunakan dalam peredaran.
Sedangkan koin-koin dengan 1645 adalah koin-koin perak, dengan pecahan 12, 24, dan 48 Stuiver. Koin-koin ini juga dicetak oleh Conjok bersama seorang ahli emas bangsa Belanda yang tinggal di Batavia, yang bernama Jan Ferman, kira-kira pada bulan Maret 1645. Setelah koin-koin ini diedarkan, muncul banyak sekali pemalsuan, sehingga pada tanggal 23 September 1647, koin-koin inipun harus berhenti dalam peredaran. Koin perak Batavia dengan tahun 1645 ini keberadaanya sangat langka sekali. Koin dengan pecahan 48 Stuiver pernah dilelang pada tahun 1989 dengan nilai US$32.000!
Koin VOC yang pertama kali dicetak secara resmi adalah koin tembaga 1726 dengan pecahan 1 Doit (Duit). Koin-koin tersebut pada awalnya dicetak di Dordrecht, Holland, dimana pada satu sisi terdapat lambang VOC dan pada sisi lainya terdapat lambang provinsi Holland. Setelah itu dicetak koin-koin dari provinsi lainnya seperti Gelderland, Utrecht, West Friesland, dan Zeeland. Koin-koin ini dinyatakan tidak berlaku di negeri induknya Belanda,
Karena hanya diedarkan hanya untuk daerah dimana VOC berada. Peredaran doit tembaga ini cukup luas karena diedarkan juga di daerah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon. Adapun nilai penukaran untuk 1 Stuiver = 4 Doit.
Karena kebutuhan uang dengan nilai nominal yang lebih kecil, maka untuk pertama kalinya tahun 1749 Holland mencetak mata uang tembaga dengan pecahan setengan Doit. Selain dari tembaga, koin-koin Doit dan setengah doit juga dicetak dengan bahan perak. Walaupun demikian koin-koin bolong Cash Cina tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, bersamaan dengan Doit Kompeni tersebut.
VOC juga mencetak koin-koin perak dengan sebutan "Ducaton" atau "Silver Ryder". Dinamakan Silver Ryder karena koin yang terbuat dari perak itu pada sisi mukanya terdapat gambar seorang menaiki kuda. Nilai tukar untuk satu Dukat sama dengan 60 Stuiver atau bernilai 240 Doits.
Disamping koin dukat penunggang kuda, dicetak juga koin perak dengan pecahan ½, 1, dan 3 Gulden, dengan gambar Dewi Pallas yang sedang berdiri sambil memegang tongkat. Orang lokal menyebut koin ini sebagai "Koin Tongkat", dimana untuk setiap guldennya mempunyai nilai 20 Stuivers atau sama dengan 80 Doit.
Tahun 1743, setelah era Sultan Agung berakhir, VOC melakukan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak mata uangnya sendiri. Berdasarkan hak tersebut, VOC membuat uang dengan desain tulisan dalam huruf arab pada kedua sisinya. Uang ini dikenal dengan nama "Derham Djawi" atau "Java Ducat" atau "Gold Rupee" (untuk koin emas), dan "Silver Java Rupee" (untuk koin Peraknya).
Percetakan uang di Batavia yang diberi kesempatan untuk mencetak koin ini pada tahun 1744, koin yang pertama kali dicetak oleh VOC di Batavia. Desain koin dibuat oleh Mintmaster Theodorus Justinus Rheen, yang pada tahun 1745 digantikan oleh Paulus Dorsman sebagai Mintmaster di Batavia. Pada bagian muka terdapat tulisaan dalam bahasa Arab: "Lla djazirat Djawa al-kabir", sedang di bagian belakangnya: "Derham min Kompani Welandawi". Yang artinya: "Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar". Koin derham emas ini mempunyai nilai sebesar 16 Silver Rupee atau 16 Gulden. Dalam peluncuranya, koin emas Djawi ini sangat disukai oleh masyarakat, sehingga pada tahun 1747-1750 mulai dibuat koin perak Jawa Rupee. Rupanya pemalsuan uang bukan hanya dilakukan oleh orang-orang jaman sekarang saja. Begitu Derham Djawi diluncurkan, beberapa tahun kemudian telah muncul koin-koin palsu beredar dipasaran. Akibatnya pada tahun 1751 koin-koin ini ditarik dari peredaran, dan pencetakan uang di Batavia untuk sementara tidak berproduksi.
Pada tahun 1765, diberitakan peraturan bahwa orang-orang pribadi yang mempunyai emas dapat meminta emas yang dimilikinya itu dikonversi menjadi koin. Dengan peraturan itu, maka pada tahun 1765 mulai dibuat koin-koin emas Java Rupee, dengan pecahan 1, 2 dan 4 emas Rupee. Koin-koin inipun pada tahun 1768 harus ditarik kembali karena mulai banyak koin-koin palsu yang beredar di pasaran.
Koin-koin dengan nilai pecahan kecil selalu menjadi kendala dalam peredaran uang. Untuk memecahkan persoalan itu maka pada tahun 1764 dicetak koin-koin pitis dari tembaga merah yang bernilai setengah Doit. Pada bagian muka tercetak: "Duyt Javas", sedangkan di baliknya dalam bahasa Arab Melayu: "Doewit Djawa".
VOC mulai menunjukan ketidakberesan manajemen dan keuangannya sejak tahun1795. Akhirnya pada tahun 1799 VOC dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasannya diambil alih oleh pemerintah Belanda, yang saat itu bernama Republik Batavia. Demikianlah masa-masa VOC di Indonesia, yang berakhir dengan sangat mengenaskan. Walaupun pada mulanya kehadiran VOC adalah untuk berdagang, namun VOC merupakan cikal bakal dari kolonialisasi Belanda, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain dimana VOC membuka markas besarya. Karena dengan wewenang yang diberikan kepadanya, VOC bahkan dapat membasmi seluruh penduduk yang tidak mau memberikan hak monopoli kepadanya, seperti yang dialami pada penduduk Banda pada tahun 1645!
Yang menjadi persoalan hingga dicetak "Emergency coin" atau uang-uang darurat adalah tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang mencukupi. Biasanya hal ini terjadi karena tidak adanya kiriman koin-koin dari negeri Belanda, atau belum datangnya Jung-Jung Cina yang biasa menyuplai. Salah satu bentuk uang darurat adalah apa yang dinamakan Bonk, yang merupakan potongan-potongan dari batangan tembaga ex Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua sisinya dengan berat yang standard, dan tidak dicetak dalam beberapa pecahan, seperti ½, 1 atau 2 Stuiver (1 Stuiver = 4 Doit).
Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar bersamaan dengan Bonk. Pada bagian sebelah muka terdapat lambang VOC dan huruf "N" diatasnya (singkatan dari Nederlansche). Di bagian belakangnya tertulis: 1 Duyt 1796 / 7 karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka doit timah itu ditarik dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang mengakibatkan doit-doit timah itu menjadi sangat langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-koin ini terbuat dari campuran dua bahan, yaitu perunggu hasil leburan dari leburan meriam-meriam yang telah rusak, dan timbal (lead). Pada sisi muka dicetak: JAVA 1799 / 1800, dan di baliknya dicetak : 1 Stuiver.
- Jaman Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1845)
Setelah runtuhnya VOC mulai tahun 1795, maka kontrak VOC yang berakhir pada tahun 1799 tidak diperpanjang lagi. Pada waktu itu Belanda termasuk negara protektorat Perancis, yang akhirnya merubah sistem pemerintahan di Belanda menjadi Republik Batavia (The Batavian Republik), dari tahun 1799-1806. Setelah pemerintahan Belanda mengambil alih seluruh harta dari kekuasaan VOC, maka mulailah jaman Pendudukan Belanda di Indonesia dalam arti yang sebenarnya. Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul perang yag berlangsung selama 5 tahun, dari bulan Mei 1825 dampai dengan Maret 1830. Perang besar ini dikenal dengan nama "Perang Diponegoro", yang mengakibatkan kira-kira 8000 orang Eropa (termasuk pasukan Belanda) dan lebih dari 7000 pasukan Jawa menjadi korbannya. Pada waktu itu, jumlah penduduk Yogyakarta telah berkurang hampir setengahnya!
Tahun 1906 Bali dapat ditundukkan. Perang di Bali terkenal dengan julukan "perang puputan" yang dapat diartikan melakukan perlawanan sampai mati. Di Sumatra, Kesultanan Aceh yang tidak pernah terjamah pada masa VOC di Indonesia, mulai dirambah. Timbul peperangan yang sangat besar, yang dimulai sejak 1873. Perang di Aceh ini dikenal dengan nama "Perang Aceh" atau "De Aceh Oorlog", dimana hingga mundurnya Belanda dari Aceh pada tahun 1942, mereka tidak dapat menguasai Aceh sepenuhnya.
Dalam numismatik Indonesia, koin-koin Belanda sangatlah umum dikoleksi oleh para kolektor. Mereka sangat akrab dengan koin-koin tersebut, karena koin-koin itu pernah lama sekali beredar di Indonesia. Sehingga tidaklah lengkap bagi para kolektor koin di Indonesia jika tidak mengoleksi koin-koin Belanda
Koin-koin asli yang dicetak langsung dari negeri Belanda juga berlaku sah di negeri-negeri jajahan tersebut, seperti koin-koin dengan gambar wajah raja-raja Willem 1, 2, 3, serta ratu Wilhelmina. Uraian mengenai koin-koin asli Belanda tersebut akan dijelaskan dalam artikel tersendiri.
Pada masa pemerintahan Raja Willem 1 (1815-1840), untuk negeri Hindia Belanda dicetak koin-koin perak dengan gambar Willem I, dengan nominal ¼, ½, dan 1 Gulden. Selain itu dicetak juga Doit-doit tembaga dengan nilai pecahan kecil. Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849) ada dua hal penting yang patut dijelaskan disini. Yang pertama adalah dicetak ulangnya koin-koin tembaga VOC dengan lambang propinsi Utrecht, yang semuanya bertahun 1790. Koin-koin ini dicetak di rumah produksi uang Batavia dan Surabaya dari bulan April tahun 1840 sampai dengan akhir 1843, dengan pecahan 1 dan 2 Doit.
Koin-koin tembaga VOC ini sampai sekarang masih banyak dijumpai di pasaran. Kejadian penting kedua adalah ditutupnya percetakan uang Batavia dan Surabaya untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan Surabaya pada akhir tahun 1843. Koin-koin cetak ulang VOC tahun 1790 inilah koin yang terakhir kali diproduksi oleh kedua percetakan uang Batavia dan Surabaya. Sejak ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka mulai saat itu semua mata uang untuk peredaran di Indonesia dikirim langsung dari negeri Belanda.
Pada jaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Setengah Ketip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali setelah cetakan kedua tahun 1855. Pada masa ini pula dicetak koin tembaga dengan pecahan 1 dan 2 ½ Sen. Koin 1 sen mulai dicetak sejak tahun 1855, sedangkan pecahan 2½ sen sejak tahun 1856. Dalam peredaranya ternyata koin dengan nilai 2½ sen itu tidak begitu populer dimasyarakat. Orang Jawa menamai koin ini dengan sebutan "Gobang" atau "Benggol". Walaupun tidak sesukses dalam peredaran, namun koin ini sangat populer dengan fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat "kerokan".
Pada waktu Ratu Wilhelmina bertahta di Belanda pada tahun 1890-1948, timbul perang Dunia II yang sangat hebat, dimana pada tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga Kerajaan termasuk Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan memakai kapal kargo. Dan di tempat pelariannya itu, Ratu membentuk "Pemerintahan dalam Pengasingan". Koin-koin tetap dicetak, bukan di Belanda, tetapi di Amerika Serikat.
Pada koin-koin dengan tahun 1941-1945, terdapat tambahan huruf kecil di bagian belakang bawah. Hurf "D" adalah singkatan dari "Denver" (1943-1945), "P" adalah "Philadelphia" (1941-1945), dan "S" untuk "San Francisco" (1944-1945). Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahanya di bagian timur telah memproklamirkan kemerdekaanya menjadi Republik Indonesia.
- Pendudukan Perancis (1806-1811)
Tidak sepanjang tahun 1800 sampai dengan 1945 Belanda memerintah di koloni Hindia Belanda. Selama masa tersebut ada beberapa masa-masa interval, dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaanya, yang pertama kepada Perancis dan yang kedua kepada Inggris. Karena pendudukan Perancis dilakukan di negeri Belanda, maka pengaruh secara langsung terhadap pendudukan Indoneisa sangat kecil sekali. Karena seluruh kontrol pemerintahan di Indonesia tetap dipegang oleh Belanda, walaupun pada saat itu Belanda merupakan jajahan dari Perancis. Namun karena pendudukan Perancis itu, maka secara tidak langsung Indonesia termasuk juga dalam kekuasaan Perancis. Tahun 1806 Napoleon mulai menduduki Belanda dan mengangkat saudaranya Louis sebagai raja di Belanda. Pada masa-masa itu koin-koin Perancis mulai dipakai di daerah Hindia Belanda. Pada tahun 1808, H.W. Daendels datang sebagai Gubernur Jendral yang baru di Indonesia. Sebelum kedatanganya, koin-koin Doit tembaga dengan tahun 1806-1810 sudah dicetak dengan desain tulisan "Java" dan lambang VOC dibaliknya. Daendels memerintahkan agar lambang VOC pada koin berikutnya harus diganti dengan nama raja (Perancis). Maka mulai tahun 1810 dicetaklah koin-koin dengan nama raja LN (Louis Napoleon), baik dengan huruf Blok maupun dengan hiasan (Ornate)
Pada jaman sebelum Daendels datang, Batavia masih merupakan suatu benteng (Citadel) dengan puri-purinya, yang dikelilingi oleh tembok-tembok besar beserta parit-parit disekitarnya. Akibatnya kota menjadi sangat pengap dan sering timbul wabah penyakit. Walaupun tidak pernah dilaksanakan, namun sebelumnya pernah diusulan agar markas besar dipindahkan ke Surabaya atau Semarang. Akhirnya pada tahun 1809 Daendels memerintahkan untuk membongkar seluruh tembok-tembok yang mengelilingi Batavia, termasuk puri-purinya, serta menimbun parit-parit yang ada disekeliling Kota. Daendels juga memerintahkan mintmaster terkenal Awekkert pindah dari percetakan uang di Batavia untuk mengurus percetakan uang di Surabaya, yang menyebabkan percetakan uang Batavia menjadi mandeg. Koin pertama kali dicetak di Surabaya adalah duit tembaga dengan tulisan "Java 1806" serta lambang VOC dibaliknya. Koin ini pertama kalinya dicetak oleh F. Loriaux. Walaupun tertera tahun 1806, namun koin ini sendiri baru dicetak pada Februari 1807.
Pada tahun 1811 Inggris menginvasi Jawa, dan berhasil mengalahkan Belanda. Dan mulailah babak baru pendudukan Inggris terhadap Indonesia selama lima tahun kedepanya!
- Pendudukan Inggris(1811-1816)
Pada waktu Perancis menginvasi Belanda pada tahun 1806, Inggris mencoba mengambil kesempatan itu untuk merebut koloni-koloni Belanda di Nusantara. Maka pada tahun 1811 dimulailah pendaratan ke Jawa, yang berakhir sukses dengan kekalahan Belanda. Belanda akhirnya harus menyerahkan koloninya kepada Inggris. Berbeda dengan pendudukan Perancis terhadap Belanda, Pendudukan Inggris dilakukan secara langsung, dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaanya di Hindia Belanda kepada Inggris. Oleh karenanya, sejak saat itu Indonesia secara langsung berada di dalam kekuasaan Inggris. Pada masa "The British Interregnum" untuk pertama kalinya diangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jendral Inggris ditanah jajahan ex Belanda tersebut. Mulailah khasanah baru pencetakan koin-koin, dengan model atau lambang perusahaan Inggris "British East India Company" pada salah satu sisinya.
Satu seri koin menarik yang dicetak pada masa pendudukan Inggris adalah Koin Java rupee yang terbuat dari emas dan perak. Contoh pada gambar koin, dibagian depanya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno "Kempni Hingglis,jasa jing Sura-pringga. Tahun Ajisaka AAS 1741", dan initial Z dibawah. Sedangkan dibaliknya tertulis dalam bahasa Arab Melayu "Hingglis,sikkahKompani,sannah AH 1229 dhuriba,dar djazirat Djawa". Koin ini dibuat oleh seorang mintmaster legendaris yang bernama "Johan Anthonie Swekkert". Koin diatas dengan tahun AH 1229 (AS 1741), adalah salah satu seri koin Java Rupee yang cukup langka. Semua koin-koin pada masa pendudukan Inggris dicetak di Surabaya, keccuali koin darurat yang terbuat dari timah murni Bangka dengan tahun 1813 dan 1814, yang dicetak di Batavia.
Setelah kekalahan yang dialami Napoleon di Eropa, maka berdasarkan perjanjian Wina tahun 1814 Inggris harus mengembalikan Jawa dan daerah lainnya kepada Belanda. Penyerahan koloni itu baru dilaksanakan Inggris pada tanggal 16 Agustus 1816.
- Jaman Pemerintahan Jepang (1942-1945)
Pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama tiga setengah tahun. Pada masa itu Jepang hanya mencetak satu seri koin saja, yaitu dalam pecahan 1, 5, dan 10 sen, dan semuanya dicetak pada tahun Jepang 2603 dan 2604 (tahun Masehi 1943 dan 1944). Koin pecahan 1 dan 5 sen terbuat dari alumunium, sedangkan 10 sen terbuat dari timah. Pada koin nominal 5 dan 10 sen, di bagian muka terdapat gambar wayang, sedangkan nominal 1 sen terdapat gambar kepala wayang. Di bagian belakangnya terdapat tulisan Jepang, JAVA, nominal (5 Sen), dan tahun Jepang 2603/04.
Setelah Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, maka tiga hari setelahnya tanggal 17 Agustus, Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Mulailah babak baru jaman Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
- Jaman Pemerintahan Republik Indonesia (1945-sekarang)
Masa-masa awal setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, adalah masa masa kritis bagi "The Born Republic". Belanda dengan rasa penasaran dan tidak mau kehilangan koloni strategisnya, masih terus melakukan agresi-agresi militernya. Namun berkat perjuangan yang sangat gigih dari pejuang Republikan, serta lobby-lobby yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kita baik di luar negeri maupun di badan dunia PBB, maka pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda secara resmi menyerahkan semua kekuasaanya di Kepulauan Nusantara kepada Indonesia, kecuali Irian Barat (Netherlands New Guinea). Belanda tetap bercokol disana, hingga pembebasan Irian Barat berhasil dilakukan pada tahun 1963. Pada tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan segala kekuasaanya di Irian Barat kepada PBB, yang nantinya akan diserahkan kepada Indonesia per tangal 1 Mei 1963.
- Pemerintahan Sukarno (1945-1967)
Pada tahun-tahun awal setelah proklamasi kemerdekaan, banyak dicetak uang kertas ORI (Oeang Republik Indonesia), dan uang-uang darurat yang dicetak oleh daerah-daerah (URIDA). Koin Republik Indonesia adalah untuk pertama kalinya pada jaman setelah kemerdekaan Republik Indonesia adalah koin tahun 1951. Koin ini terbuat dari alumunium dengan pecahan 5 sen, yang mempunyai ciri khusus, yaitu mempunyai lubang pada bagian tengahnya. Koin alumunium pecahan 10 sen (tanpa lubang) dengan gambar Garuda dicetak pada tahun 1951 juga. Berikutnya pada tahun 1952 dicetak koin-koin dengan pecahan 1 sen (yang mempunyai desain sama dengan pecahan 5 sen bolong) dan pecahan 25 Sen. Pada tahun yang sama juga dicetak koin dengan pecahan 50 sen dengan gambar Dipanegara. Satu hal yang patut dicatat adalah dicetaknya koin emas dengan gambar Dipanegara. Koin ini dicetak pada tahun 1952 dengan berat 15 gram. Dan mempunyai nilai Rp 25. Pada bagian muka adalah gambar Dipanegara, dengan tulisan DIPANEGARA disebelah kiri dan tulisan arab di kanan. Sedangkan di baliknya adalah lambang Garuda Pancasila, INDONESIA di atas disertai dengan tulisan melingkar BEKERJA MENABUNG MEMBANGUN. Tahun 1952 adalah masa perintisan negara Indonesia, sehingga tidak banyak orang yang mau menyimpan koin yang tergolong mahal itu. Akibatnya, sebagian besar koin emas Dipanegara pada waktu itu diborong oleh para kolektor atau pedagang diluar negri. Sekarang ini jika kita ingin memilikinya, opsi terbaik adalah dengan membelinya dari luar negri, karena di Indonesia sendiri koin ini cukup langka untuk diperoleh!Seri koin-koin dengan gambar Sukarno juga dicetak untuk peredaran khusus Kepulauan Riau. Koin-koin dengan tahun 1962 (dicetak tahun 1963) ini terbuat dari alumunium, dan terdiri dari pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 sen. Koin-koin ini ditarik dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 30 September 1964. Pada pinggiran semua koin seri Kepulauan Riau ini, tertera inskripsi "KEPULAUAN RIAU".
Pada masa pembebasan Irian Barat (dulu Netherlands New Guinea), yang berlangsung dari tahun 1961 sampai dengan 1963, juga dicetak koin-koin seri Sukarno, dengan desain yang sama persis dengan seri kepulauan Riau. Seri ini dicetak khusus untuk peredaran di Irian Barat, dan bertahun 1962 (Dicetak tahun 1964). Namun akhirnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Desember 1971. Untuk membedakannya dengan seri Riau, koin-koin seri Irian Barat dengan nominal 1, 5, dan 10 sen, mempunyai pinggiran polos (Plain) dan tidak ada inskripsi apapun. Sedangkan koin dengan nominal 25 dan 50 sen, pada pinggiran koinya adalah bergerigi (Reeded). Koin-koin seri Riau cukup sulit didapat di pasaran lokal.
Pada masa Sukarno, banyak dicetak koin-koin "Pattern" atau "Proof" dengan bahan alumunium. Koin-koin "Pattern" pecahan 50 sen dengan gambar Sukarno dicetak pada tahun 1962. Tahun itu juga terdapat koin Pattern dimana kedua sisi depan dan belakangnya sama ( 50 Sen dalam untaian padi dan kapas). Tahun 1965 dicetak koin proof dengan desain tahun 1965/62. Juga pada tahun 1963 dicetak koin senilai Rp 2½ dengan gambar Sukarno dibagian depan. Pada bagian sisi sampingnya, koin ini mempunyai inskripsi: "BHINEKA TUNGGAL IKA".
- Pemerintahan Suharto (1967-19998)
Masa pemerintahan Suharto dapat dikatakan sebagai masa pembangunan Indonesia. Setelah Suharto diangkat sebagai Presiden Indonesia yang kedua, maka koin-koin yang pertama kali dicetak pada awal pemerintahanya adalah tahun 1970. Koin-koin dengan bahan alumunium ini dikenal sebagai koin-koin seri burung (nominal 1 dan 5 rupiah) serta padi dan kapas (2 rupiah). Kampanye program keluarga berencana juga diabadikan dalam koin-koin seri tahun 1974 dan 1979, yang keduanya dari alumunium dengan nominal 5 rupiah. Serial koin-koin menarik dari bahan perak dan emas diluncurkan pada tahun 1970, guna memperingati 25 tahun kemerdekaan Indonesia. Koin-koin ini dicetak dengan bahan perak dan emas, mempunyai desain yang sama, namun berbeda dalam nominalnya. Pecahan Rp 200 mempunyai desain burung Cendrawasih, Rp 250 gambar Patung Manjusri, Rp 500 adalah Penari Wayang, Rp 750 adalah Barong, dan Rp 1.000 bergambar Jendral Sudirman. Untuk yang emas 5.000, 10.000. 20.000 dan 25.000. Seri-seri binatang dicetak pada tahun 1974 dengan gambar Harimau Jawa (Rp 2.000), Orang Utan (Rp 5.000) dan juga koin dari bahan emas dengan gambar komodo (Rp 100.000). Tahun 1987 diterbitkan lagi koin-koin menarik seri binatang, dari perak bernilai Rp 10.000 (Babi Rusa) dan dari emas bernilai Rp 200.000 (Badak Jawa).
Peringatan 50 tahun Kemerdekaan Indonesia tahun 1995 diabadikan dalam koin-koin dengan wajah Suharto. Koin-koin ini terdiri dari satu set, dimana koin dengan nominal Rp 300.000 (berat 17 gram) mempunyai desain muka Suharto yang sedang berdialog dengan penduduk. Sedangkan nominal Rp 850.000 (berat emas 50 gram), yang menggambarkan wajah penuh Suharto sedang menghadap kedepan.
Satu hal yang perlu dicatat dalam numismatik Indonesia, adalah dicetaknya koin dengan bahan Bi-Metal (dua bahan sekaligus). Koin ini pertamakalinya dicetak pada tahun 1993 dengan nominal Rp 1.000, dengan gambar pohon kelapa. Pada bagian lingkaran luar terbuat dari Copper-Nickel, sedangkan lingkaran dalamnya terbuat dari bahan Brass (kuningan). Inilah satu-satunya koin Bi-Metal yang pernah dicetak oleh Indonesia sampai saat ini.
Koin alumunium-Bronze nominal Rp 500 dengan gambar bunga melati, mulai dicetak pada tahun 1991. Lalu pada tahun 1997 dicetak lagi koin dengan pecahan Rp 500 dengan desain Bung Melati yang telah disempurnakan. Koin ini merupakan koin terakhir yang dicetak pada masa kepemimpinan Suharto, sebelum beliau digantikan oleh B.J Habibie setelah kerusuhan melanda Jakarta pada tanggal 21 Mei 1998.
- Pemerintahan B.J Habibie (1998-1999)
B.J Habibie diangkat sebagai Presiden (Interim), setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Pada masa pemerintahannya, beberapa koin dengan desain baru sempat dicetak, yaitu koin alumunium pecahan Rp 50 dan Rp 100 seri Burung Cariole dan burung Kakatua, tahun 1999. Satu lagi pada tahun 1999 juga dicetak koin emas seri "For the Children of the World" dengan nominal Rp 150.000, dengan desain mukanya anak laki-laki bermain kuda lumping.
- Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
- Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Setelah MPR menjatuhkan mosi tidak percaya pada tanggal 23 Juli 2001 kepada Abdurrahman Wahid, pada saat itu juga diangkat wakil Presiden Megawati menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-5. Setelah masa pemerintahanya, hanya dua buah koin dengan desain baru yang mulai diedarkan pada bulan November 2003, yaitu koin-koin alumunium dengan pecahan Rp 200 (Jalak Bali) dan Rp 500 (Bunga Melati).
- Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (2004-..)
Susilo (atau lebih dikenal dengan sebutan SBY) dan Jusuf Kalla, dilantik sebagai Presiden RI yang ke-6 dan wakil Presiden pada tanggal 20 oktober 2004, setelah memperoleh suara terbesar dalam pemilu tahun 2004. Pemilu tahun 2004 tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai Pemilu yang untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung oleh dan untuk rakyat. Namun setelah setahun pemerintahannya, belum ada satupun mata uang baru yang telah dicetak. Kita harapkan saja akan segera dicetak uang-uang dengan desain yang menarik dan terbuat dari logam yang lebih baik dari sebelumnya (seperti Bi-Metal), yang akan menambah koleksi dan perbendaharaan mata uang Idonesia.
Seperti telah kita ketahui bahwa sangat jauh sekali perbedaan antara desain dan mutu mata uang yang dicetak pada tahun 1993 kebawah (termasuk desain lama dengan versi baru) dibandingkan dengan cetakan mata uang seperti sekarang ini beredar (tahun 1994 keatas). Coba lihat dan bandingkan antara cetakan dari kedua periode diatas, dimana yang desain dan mutu mata uang tahun 1993 kebawah lebih menawan dibandingkan dengan cetakan cetakan sesudahnya. Hal ini dapat diindikasikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia pada periode itu, yaitu sampai dengan setelahnya. Seperti telah diketahui bahwa sejak tahun 1998, kondisi perekonomian Indonesia sedang sakit parah, dan masih belum bisa kembali sembuh hingga saat ini.
- Mata uang lainnya
Selain beraneka ragam mata uang yang telah diceritakan diatas, masih banyak mata uang lainya yang dulu pernah beredar di bumi Indonesia ini. Bukan hanya koin-koin dari Jawa seperti Banten, Cirebon, Sumenep, tetapi juga koin-koin bersejarah dari luar Jawa telah menggunakan mata uangnya sendiri pada kurun waktu yang telah lama sekali.
- Kerajaan-Kerajaan Di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di bagian Timur pada kira-kira tahun 1528, maka di Jawa bagian barat, Bantam atau Banten, berangsur-angsur menjadi pusat perdagangan di Jawa. Kapal-kapal dari negara-negara lain, serta jung-jung Cina, hampir tiada hentinya datang untuk berdagang di wilayah Banten.
Setelah kedatangan Cornelis de Houtman dengan armada dagang Belanda untuk pertama kalinya di tanah Jawa pada tahun 1595, maka Banten menjadi daerah rebutan perusahaan-perusahaan Belanda. Pada waktu VOC didirikan pada tahun 1602, pertama kalinya mereka mendirikan markasnya di Amboina, Maluku. Tiga Gubernur Jendral VOC yang pertama bermarkas di pulau rempah-rempah itu. Namun Amboina dirasa kurang strategis, sehingga dicari alternatif lain untuk membuka kantor dagangnya yang baru, yaitu Banten.
Ternyata di Banten mereka kalah dalam bersaing dengan pedagang-pedagang mancanegara lainya, karena pangeran Banten tidak mau menyerahkan monopoli rempah-rempahnya ke tangan VOC. Akhirnya pada tahun 1610 VOC menyewa sepetak tanah di Jayakarta (Sekarang Jakarta) dari pangeran Jayakarta. Pada waktu itu Jakarta termasuk dalam daerah kekuasaan Banten. Dari sepetak tanah, VOC kemudian membangun sebuah Kastil serta benteng-benteng pertahanan di sekelilingnya. Persewaan tanah itu akhirnya menimbulkan permusuhan antara VOC dengan Banten. Pada tahun 1618, pasukan Banten, Pangeran Jayakarta, beserta sekutunya Inggris, mengepung dan menyerang benteng VOC. Pertempuran besar terjadi akhirnya pada tanggal 30 Mei 1619 tentara VOC dibawah pimpinan Jan Pieterzoen Coen, dapat memukul musuh-musuhnya. Istana Sultan Jayakarta dibumi-hanguskan dan kerajaan Banten diporak-porandakan. Dari reruntuhan itu akhirnya dibangun Kastil Batavia sebagai markas besar VOC di Hindia Belanda. Sedangkan Inggris sendiri setelah kekalahanya di Jayakarta mereka lari ke Sumatra dan mendirikan markas besarnya di Bencoolen (Bengkulu)
Koin-koin dari Kesultanan Banten dibuat sekitar tahun 1550-1596 Masehi. Bentuk dari koin Banten mengambil pola dari koin Cash Cina yaitu dengan lubang ditengahnya dengan 6 segi pada lubangnya itu. Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa kuno: "PANGERAN RATOU", nama dari Sultan Banten waktu itu. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, Inskripsi diganti dengan tulisan dalam bahasa Arab.
Demikian pula dengan pola koin-koin dari Kesultanan Cirebon, yang mengambil bentuk seperti pola koin Cash Cina. Koin-koin Cirebon dibuat kira-kira tahun 1742 dimana saat iu berkuasa Sultan Sepuh. Koin dengan bahan dari timah dengan lubang ditengah itu, pada bagian muka tertulis inskripsi: "CHERIBON".
Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, Kesultanan Sumenep di Pulau Madura tidak mencetak mata uang dalam versinya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin asing (diluar Sumenep), dengan diberi "Counter-marked" (Cetak tindih). Koin-koin yang digunakan adalah koin-koin Thaler dari Autria, Gulden Pallas, Dukaton Belanda, Java Rupee, Mexico 2 Pillar (Bola Dunia) dan Cob Coin (Real Batu), serta koin-koin Hispan Mexico 8 Reales. Sedangkan cetak tindih yang dipakai, ada beberapa, seperti: "Bintang Madura”, tulisan arab "Sumenep", dan cap "Bunga dengan 5 daun". Koin-koin dengan cetak tindih ini dibuat pada saat bertahtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854) di Kesultanan Sumenep, Madura.
- Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh
Mata uang emas dari Aceh dinamakan "Derham", yang merupakan "sambungan" dari mata uang kerajaan Samudra Pasai, setelah ditaklukan Aceh pada tahun 1524. Mengingat bahwa sejarah panjang mata uang Pasai dan Aceh sangat menarik untuk dibahas, maka akan dibuat dalam artikel tersendiri.
- Kerajaan Palembang
Ciri khas dari koin-koin Palembang adalah mempunyai lubang di tengahnya, seperti koin cash dari Cina. Koin-koin Palembang disebut Pitis Teboh atau Pitis Lubang (Teboh adalah lubang dalam bahasa Palembang). Banyak sekali jenis-jenis koin Palembang yang pernah dicetak seperti diuraikan pada buku Millies No. 182-209. Gambar koin ini adalah contoh Pitis Teboh dari Palembang, dengan bahan tembaga dan bertahun AH 1198 (Sekitar tahun 1774/75 Masehi).
- Kerajaan-Kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin dan Maluka)
Kesultanan di Kalimantan lainnya yang mencetak mata uangnya sendiri adalah Kesultanan Banjarmasin yang terletak di Kalimantan Selatan. Koin-koin Banjarmasin juga sangat sulit untuk didapatkan, dan mulai dicetak kira-kira pada saat bertahtanya Sultan Tamjid Illah III (1785-1808). Koin ini mempunyai labang VOC, dan mempunyai tahun AH 1221 (Millies # 226).
Kerajaan lain di Borneo adalah Kerajaan Maluka. Penjelasan menenai kerajaan ini dimuat dalam artikel tersendiri berjudul "Rajah Putih Dari Borneo".
- Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi (Gowa & Buton)
Makasar merupakan pusat perdagangan VOC di wilayah Indonesia bagian timur, Untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah tersebut, maka setelah berhasil menaklukkan Ternate dan Tidore, VOC mulai merancang misi untuk menaklukkan Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan, yang merupakan rival berat bagi VOC. Berkat peperangan antara Aru Palaka dari Bugis, yang dibantu oleh pasukan VOC, dengan Sultan Hasanuddin dari Gowa, maka akhirnya Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667. Dalam perjanjian tersebut dicantumkan bahwa wilayah Minahasa, Bitung dan Sumbawa yang tadinya termasuk dalam wilayah Kesultanan Gowa harus diserahkan kepada VOC. Dan semua pedagang-pedagang Eropa selain daripada VOC, dilarang untuk melakukan perdagangan di wilayah bagian timur tersebut.
Mata uang ini adalah koin emas Dinara Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa yang memerintah pada tahun 1653-1669. Pada bagian muka tertulis: "Sulta Hasa-al-din". Sedangkan di bagian belakang adalah "Khada Allah Malik wa Sultan Amin" atau "Pejuang Allah Kerajaan Sultan Amin". Berat 2.46 gram dengan diameter 19.50 mm. (Millies # 285). Adapun gelar Kesultanan Hasanuddin adalah "I Mallombasi Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape".
Satu lagi koin emas dinara dari kerajaan Gowa, Sultan Alauddin Awwalul Islam yang berkusa pada tahun 1593-1639. Berat 0.6 gram dengan diameter 20 mm. Sultan Alauddin ini adalah Sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Bagian depan: "Sultan Alaudin", dan bagian belakangnya: "Masruf.....". (Millies # 279). Adapun gelar kesultananya adalah: "I Mangarangi Dg Manrahia A. Alauddin Awwalul Islam Tumenanga ri Gaukanna" atau disingkat "Matinroe Agamanna".
Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara mempunyai bentuk mata uang yang sangat unik, yang dinamakan Kampua. Uang Unik dengan bahan kain tenun ini merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita rakyat Buton, Kampua pertama kali diperkenalkan oleh Bulawambona, yaitu Ratu Kerajaan Buton yang kedua, yang memerintah sekitar abad XIX. Setelah Ratu meninggal, lalu diadakan suatu pasar sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang-oraang yang berjualan mengambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan, para pedagang memberikan suatu upeti yang ditaruh diatas makam tersebut, yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton, bahkan sampai dengan tahun 1940!
Pada jaman bertahtanya Sultan Buton yang keempat, yaitu Sultan Dayan Ihsanuddin (La’Elangi), Sekitar tahun 1597-1631, perdagangan di Kerjaan Buton mengalami masa kejayaan. Para pedagang dari daerah-daerah lain, termasuk pedagang-pedagang dari Cina dan Portugis datang dengan kapal-kapalnya ke kerajaan Buton. Mengingat bahwa semua transaksi di wilayah kerajaan Buton harus menggunakan uang Kampua, maka sebelumnya para pedagang tersebut harus menukarkan uang mereka dengan Kampua. Penukaran dilakukan kepada "money Changer" yang banyak terdapat di pelabuhan, ataupun di lokasi-lokasi perdagangan. Setelah selesai berdagang, mereka boleh menukarkan sisa uang Kampua yang dimilikinya dengan mata uang yang diinginkan. Namun tentunya ada juga pedagang-pedagang yang tidak menukarkan, tetapi menyimpan Kampua itu sebagai kenang-kenangan "uang aneh" dari Buton.
Dalam proses pembuatan dan peredaran uang Kampua ini, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Mentri Besar atau yang disebut "Bonto Ogena". Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Perhitungan mengenai situasi dan kondisi wilayah, serta jumlah perkembangan penduduk yang ada, perlu diperhitungkan agar jumlah peredaran Kampua tetap dapat dikontrol dan tidak menimbulkan inflasi. Pengawasan oleh "Bonto Ogena" juga diperlakukan agar tidak timbul pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu dirubah-rubah.
Setelah kain-kain selesai ditenun, kemudian dipotong-potong untuk menjadi uang Kampua. Pemotongan lembaran kain menjadi Kampua itu juga ada prosedurnya yang juga ditentukan oleh Mentri Besar. Cara memotongnya adalah dengan mengukur panjang dan lebar Kampua, dengan cara: ukuran empat jari untuk lebarnya, dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan, untuk panjangnya.
Sedangkan tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Mentri Besar atau "Bonto Ogena" itu sendiri! Oleh karenanya ukuran lebar dan panjang Kampua yang diproduksi tidak selalu sama, tergantung dari panjang pendeknya ukuran tangan Mentri Besar yang saat itu berkuasa. Jika nantinya yang menjadi Mentri Besar mempunyai tangan yang pendek, maka ukuran Kampua akan menjadi pendek pula. Sebaliknya jika "Bonto Ogena" mempunyai tangan yang lebih panjang, maka hasil Kampua akan menjadi lebih panjang, sesuai dengan ukuran tangannya!
Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu "bida" (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Namun perkembangan selanjutnya, standar ini diganti dengan nilai "boka", dimana satu bida sama dengan 30 boka. Boka adalah suatu standar nilai yang umum digunakan oleh masyarakat Buton, yang biasanya digunakan pada waktu upacara-upacara adat perkawinan, kematian dan sejenisnya.
Namun setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira-kira tahun 1851 fungsi kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang uang buatan "Kompeni". Sampai akhirnya nilai Kampua menjadi sangat tidak berarti, dimana pada waktu itu nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen Doit tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja! Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai dengan tahun 1940!
- British East India Company di Sumatra
Setelah kekalahan Inggris dan Banten melawan VOC pada tahun 1619 di Jakarta, Inggris lari ke Sumatra. Setelah mengadakan perjanjian dengan kepala-kepala suku Becoolen (Bengkulu), maka pada tanggal 12 Juli 1685 Inggris mendirikan "Factory" atau pusat perdagangannya, dan juga membangun sebuah benteng yang dinamai "FORT YORK". Namun pada kira-kira 1700, Inggris terpaksa harus meninggalkan benteng tersebut karena dibakar oleh penduduk. Mereka marah karena merasa dipermainkan oleh Inggris dalam hal pemaksaan harga rempah-rempah. Tahun 1714 Inggris mendirikan markas barunya tiga mil arah selatan dari Fort York, yang selesai dibangun pada tahun 1719. Markas baru itu duberi nama "Fort Marlbro" (atau Fort Marlborough).
Koin pertama kali dicetak oleh Inggris sewaktu menempati pos di Fort York adalah koin tembaga yang dicetak kira-kira tahun 1695, dan dapat diidentifikasi sebagai Madras 5 (Friedberg).
Pada bulan Maret tahun 1818, Inggris menunjuk Sir Stamfort Raffles untuk menduduki posnya yang baru di Bengkulu. Rafles juga pernah menjadi penguasa di Jawa pada tahun 1811-1816. Selama pemerintahannya di Jawa, Raffles banyak sekali menerbitkan buku-buku yang luar biasa mengenai Jawa.
Berdasarkan perjanjian Inggris dan Belanda pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris akhirnya harus menyerahkan Bengkulu dan semua penduduknya di pantai barat Sumatra kepada Belanda. Sedangkan Belanda menyerahkan jajahannya Malaka ke tangan Inggris, dan memperbolehkan Inggris mendirikan koloni di Singapura.
- Token-Token Perkebunan dan Pertambangan
Pada jaman pemerintahan Belanda, banyak mata uang yang dibuat khusus oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan, tidak hanya di Jawa, Sumatra, Bangka, Kalimantan, bahkan juga di pulau Batjan ternate.
Token dalam arti luas adalah alat yang biasanya dibuat oleh pihak swasta atau non-pemerintah, untuk tujuan sebagai alat tukar menukar, iklan, jasa atau untuk tujuan lainya. Ciri khusus dari pada Token adalah hanya berlaku dan terbatas pada suatu tempat dimana token tersebut dibuat. Uang token (atau biasa disebut sebagai Token), adalah suatu alat atau benda yang biasanya dikeluarkan oleh pihak swasta, untuk tujuan sebagai alat tukar menukar, dengan suatu nilai tertentu dan dalam daerah peredaran yang sangat terbatas. Sebagai contoh token kasino adalah koin yang hanya dapat digunakan di kasino tempat token tersebut dicetak. Koin dari kasino A hanya dapat digunakan di kasino A. Koin kasino A tidak dapat digunakan di kasino B atau C, atau sebaliknya. Sedangkan token perjalanan, seperti tiket kereta api, bis, pesawat, kapal api dan sebagainya, mempunyai nilai dan hanya dapat digunakan di tempat tiket tersebut diterbitkan.
Setelah selesainya perang Jawa tahun 1825-1830, kondisi keuangan Belanda sangatlah morat-marit karena banyak tersedot untuk membiayai peperangan di Jawa ini. Perang yang berlangung selama 5 tahun, dari bulan Mei 1825 sampai dengan Maret 1830, dikenal dengan nama "Perang Jawa" atau "Perang Diponegoro", dimana kira-kira 8.000 orang-orang Eropa (termasuk Belanda) dan lebid dari 7.000 pasukan Jawa menjadi korbannya. Pada waktu itu, jumlah penduduk Yogyakarta telah berkurang hampir setengahnya!
Guna mengisi kekosongan kas negara, maka Belanda melalui Gubernur Jendral Van den Bosch mulai memperkenalkan sistem tanam paksa yang dinamakan "Kultur Stelsel" (Cutuurstelsel). Sistem Kultur Stelsel ini ternyata berjalan sangat baik, yang membuat keadaan keuangan di Belanda menjadi membaik, bahkan surplus. Semenjak masa itulah mulai banyak didirikan usaha-usaha perkebunan, baik perusahaan-perusahaan dari bangsa Belanda sendiri, ataupun dari bangsa Eropa lainya, seperti Jerman, Perancis, bahkan dari bangsa Asia, yaitu Jepang!
Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan uang-uang tokennya, baik token perkebunan maupun token pertambangan. Pada jaman pemerintahan Belanda tempo dulu, di pulau Jawa dan terutama di Sumatra, banyak sekali perusahaan swasta yang mengelola lahan perkebunanya sendiri. Mereka diberi hak untuk membuka hutan guna dijadikan lahan perkebunan, serta diberi ijin untuk membuat mata uangnya sendiri yang akan digunakan dikawasannya sendiri. Mata uang tersebut dinamakan Token perkebunan (Plantation Token), yang mana mempunyai area peredaran sebatas pada daerah perkebunan itu sendiri.
Lahan-lahan perkebunan di Sumatra mulai dibuka sejak tahun 1863 sampai dengan tahun 1919. Pada mulanya diperkenalkan tanaman tembakau di daerah Deli. Dari sini berkembang perkebunan-perkebunan baru yang dibuka, dengan bermacam-macam tanaman yang diusahakan, seperti karet, coklat, dan lain-lain. Namun tanaman yang paling utama adalah tembakau. Karena banyaknya lahan-lahan perkebunan yang dibuka, maka timbul persoalan mengenai kebutuhan tenaga kerja. Tenaga kerja lokal pada umumnya tidak mau bekerja di perkebunan-perkebunan itu, karena disamping tempatnya yang sangat jauh, mereka juga mempunyai keluarga yang tidak mungkin ditinggalkan. Untuk mengatasi keadaan tersebut, maka didatangkan tenaga-tenaga kerja berasal dari Jawa, dimana mereka bersedia tinggal di daerah-daerah perkebunan yang terpencil itu. Sejak saat itu ratusan kapal-kapal besar mondar-mondir Jawa Suamtra untuk mengangkut tenaga-tenaga kerja Jawa yang akan ditempatkan pada perkebunan-perkebunan di Sumatra.
Para pekerja akan dibayar upahnya dengan memakai token yang dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan. Dan untuk mencukupi kebutuhan para pekerjanya, maka di tiap-tiap perkebunan mempunyai toko yang menyediakan berbagai macam kebutuhan pokok maupun kebutuhan sehari-hari. Para pekerja dapat membelanjakan uangnya di toko-toko yang telah disediakan. Dan sekali lagi, bahwa token ini tidak berlaku dan tidak dapt dibelanjakan ditempat-tempat perkebunan lainya.
Daerah-daerah di Sumatra yang dibuka luas untuk lahan perkebunan, terutama di Sumatra Utara (Langkat, Deli Serdang, Asahan, Siak, Labuan Batu, Tamian) dan Sumatra Barat (Bedagai, Batu Bahra, Padang). Daerah itu terdapat beratus-ratus perusahaan swasta yang mengelola perkebunan, dan bukan saja dari Belanda sendiri, tetapi juga yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan asal Jerman. Perkebunan Binjey dikelola oleh perusahaan swasta asal Jerman sejak 1884. Perusahaan tembakau ini mengeluarkan tokennya dalam berbagai pecahan, dimana pada gambar adalah token dengan nilai 1 Dollar. Pada bagian depan terdapat tulisan: "UNTERNEHMUNG BINJEY, Gut Fur 1 Dollar, 1890".
Token dari dari perkebunan "SILAU" di Asahan, mempunyai pecahan dari 1 Dollar; ½ Dollar, 1/5 Dollar sampai pecahan 1/10 Dollar. Pada sisi depanya tertulis: MUNT VAN DE ASAHAN TABAK MAATSCHAPPIJ "SILAU", 1 DOLLAR. Sedangkan di bagian belakang terdapat tulisan: ATMS, dengan tulisan bahasa Cina dalam lingkaran d itengah. Perusahaan ini berdiri kira-kira tahun 1890, dimana pada mulanya dikembangkan tembakau sebagai tanaman utamanya. Namun kira-kira tahun 1913 perusahaan mulai mengembangkan tanaman karet disamping tembakau. Token-token ini terbuat dari nikel dan kupro-nikel.
Token dari Perkebunan Tanah Radja mempunyai bentuk yang tidak biasa, yaitu bentuk segi tiga. Token yang dikeluarkan kira-kira pada tahun 1890-1898 ini dicetak oleh perkebunan "UNTERNEHMUNG TANAH RADJA", yang terletak di daerah Asahan. Disamping tembakau, perusahaan juga mengelola perkebunan karet. Perusahaan Indonesia Bakrie & Brothers pernah pula mengelola perkebunan Tanah Radja.
Token dengan nilai 1 Dollar dari perusahaan "UNTERNEHMUNG GOERACH BATOE" di Asahan dicetak dalam 2 nominal yang berbeda, dimana pecahan yang satu mempunyai nilai "GUT FUR 1 DOLLAR", sedang pecahan yang lainya berharga "GUT FUR 1 DOLLAR REIS", atau "1 Dollar Beras", atau artinya kira-kira "Dapat dipakai untuk membeli beras seharga 1 Dollar".
Sedangkan perkebunan tembakau "de Guigne Freres" di Soengei Sikambing, Deli, mencetak tokennya dengan nilai 2, 3 atau 4 Gantang Bras. Adapun berat untuk satu gantang beras kira-kira 8,5 liter.
Di pulau Jawa sendiri walaupun tidak sebanyak di kawasan Sumatra, ada beberapa perkebunan Argasari yang terletak di Gunung Halimun, desa Cipeundeuh. Shcolten mengatakan bahwa Argasari adalah perkebunan Teh, Sedangkan A.J Lansen menyebutnya sebagai perkebunan Kina token-token ini juga dicetak dalam beberapa pecahan, dimana bagian muka tertulis (sesuai dengan nominalnya): "EEN HALF ARBEIDSLOON" pada lingkaran atas, dan tulisan Jawa pada lingkaran bawah. Nominal di bawah lubang, dengan dua buah tangkai daun kina di kiri dan kanannya. Sedangkan pada bagian belakang adalah: "ONDERNEMING ARGASARI,1892". Dua buah silangan cangkul (?) di lingkaran tengah. Pada gambar terlihat cetak tindih angka "1" pada token nominal ½ Arbeidsloon. Menurut referensi yang ada, token-token Argasari dicetak hanya dalam pecahan 2½ , ½ Arbeidsloon, dan pecahan 20 Sen. Karena kebutuhan token dengan 1 Arbeidsloon, maka kemungkinan dilakukan cetak tindih nominal "1" pada token pecahan ½ ini.
Didaerah Limbangan, Penembong, Garut, juga terdapat perkebunan teh "WASPADA". Token yang dicetak pada tahun 1886-1895 ini, hanya pada sisi mukanya saja yang dicetak, dengan nominal 10, 5 dan 1 Cent dengan tulisan Jawa (atau Sunda?).
Di daerah Jawa Barat lainnya, yaitu di perkebunan teh Tjirohani di Sukabumi, terdapat token dengan nominal 8 sen yang sangat unik. Token ini dibuat dari bambu, satu-satunya token bambu yang pernah dibuat di Indonesia. Untuk lebih jelasnya tentang uang bambu ini, silahkan baca artikel tentang Uang Bambu Dari Tjirohani, Sukabumi.
Di Jawa timur terdapat beberapa perkebunan yang mencetak matauangnya, seperti "SOEMBER DOEREN", "SOEMBER REDJO", "SOEMBER SOEKA", "SOEMBER TANGKEP", "SOEMBER TEMPOER", yang semuanya terletak di desa Turen, Malang. Token tembaga dari perkebunan Soember Doeren ini mempunyai nominal 50 Sen, dan dicetak antara tahun 1891-1912.
Perusahaan pengembangan tanaman coklat, kopi dan karet. Perkebunan "BOEMIE AJOE" di sumber Nongko, Malang, mencetak tokennya pada tahun 1890-1900. Hanya ada dua pecahan yang dicetak, yaitu dengan nominal 50 dan 25 Sen.
Satu lagi lokasi perkebunan yang paling jauh, adalah di pulau Bacan, Ternate. Keberadaan token dari Bacan ini sangat langka sekali, dibuat dari bahan nikel pada tahun 1892-1911. Pada sebelah mukanya terdapat tulisan: "ROTTERDAM BATJAN CULTUUR MAATSCHAPPIJ". Pada bagian belakangnya adalah: "GOED VOOR 1 GULDEN".
Demikian usai sudah rangkaian panjang dari artikel sejarah perkembangan mata uang Indonesia. Tujuan utama dari penerbitan tulisan artikel ini adalah untuk pembelajaran, baik kepada masyarakat numismatik maupun kepada masyarakat umum, agar mereka semua tahu mengenai sejarah dari mata uangnya sendiri, Indonesia. Dengan mengetahui sejarahnya, kita akan lebih mengenal mata uang itu sendiri, yang pada akhirnya diharapkan akan menimbulkan minat dan hasrat bagi masyarakat untuk memulai mengumpulkan mata uang guna dijadikan koleksi.
Artikel ini disusun setelah memakan waktu kurang lebih selama lima tahun, dengan mengambil bahan-bahan dan informasi dari ratusan buku buku. Namun anehnya, hampir seluruh buku-buku tersebut dikarang oleh penulis luar negeri, terutama peneliti-peneliti dari Eropa. Hanya satu atau dua informasi yang diambil dari penulis dalam negeri, walaupun isi secara umum dari buku-buku yang ditulisnya tidak menggambarkan kejadian yang sebenarnya.
Sepanjang diterbitkanya artikel ini, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan ataupun orang-orang yang tinggal di suatu daerah tetapi tidak pernah mengetahui bahwa di daerahnya itu dulu pernah dicetak mata uang yang pernah beredar di daerahnya, seperti koin-koin dari Minangkabau, Maluka, ataupun token-token perkebunan.